Mendidik Anak Memanfaatkan Waktu Luang ini merupakan bagian dari
kajian Islam ilmiah
Fiqih Pendidikan Anak yang disampaikan oleh
Ustadz Abdullah Zaen, M.A. Hafidzahullah. Kajian ini disampaikan pada Senin, 3 Jumadil Akhir 1447 H / 24 November 2025 M.
Kajian Tentang Mendidik Anak Memanfaatkan Waktu Luang
Serial kajian yang ke-221 ini mengangkat tema mengembangkan bakat anak dengan bijak.
Satu hal yang harus disadari adalah bahwa anak merupakan amanah yang sangat berharga yang diberikan oleh Allah ‘Azza wa Jalla kepada orang tua. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah membekali anak-anak dengan fitrah yang suci. Tugas orang tua adalah membentuk anak menjadi pribadi yang saleh dan bermanfaat.
Oleh karena itu, tugas orang tua adalah menemukan bakat, minat, dan kecenderungan anak, kemudian mengembangkannya. Menemukan dan mengembangkan bakat anak bukan hanya bertujuan untuk kesuksesan di dunia. Ada sebagian orang yang beranggapan bahwa mengembangkan bakat hanya terkait urusan dunia, tetapi anggapan itu tidak benar. Mengembangkan bakat anak selain untuk kesuksesan di dunia, juga akan menjadi bekal yang sangat berharga di akhirat.
Terdapat tiga langkah untuk mengembangkan bakat anak dengan bijak.
1. Prioritaskan Pendidikan Fardhu ‘Ain
Langkah pertama adalah memprioritaskan pendidikan fardhu ‘ain. Pendidikan fardhu ‘ain adalah ilmu-ilmu yang wajib diketahui oleh setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan, rakyat ataupun pejabat, tua, muda, besar, atau kecil, karena ‘ain (fardhu ‘ain) berarti wajib bagi setiap individu.
Inilah yang membedakan konsep pengembangan bakat dalam ajaran Islam dengan konsep Barat. Pengembangan bakat tidak hanya dibahas dalam Islam; dunia Barat juga membicarakannya. Perbedaannya adalah dalam agama Islam, sebelum anak diarahkan kepada bakatnya, ia harus memiliki pondasi yang kokoh terlebih dahulu, yaitu ilmu-ilmu fardhu ‘ain.
Jumlah sahabat Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam saat beliau wafat sangat banyak, mencapai lebih dari 100.000 orang. Namun, 100.000 sahabat tersebut tidak semuanya menjadi ulama atau ustadz. Mereka memiliki keahlian yang berbeda-beda.
* Ada yang menjadi pemimpin seperti Al-Khulafa’ Ar-Rasyidin: Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali.
* Ada yang menjadi dai atau ustadz, seperti Mush’ab bin Umair dan Mu’adz bin Jabal.
* Ada yang menjadi saudagar (pedagang), seperti Abdurrahman bin Auf.
* Ada yang menjadi panglima perang yang hebat, seperti Khalid bin Walid.
Para sahabat yang jumlahnya 100.000 lebih itu tidak semuanya menjadi ulama, mereka memiliki bakat yang berbeda-beda. Namun, yang sama adalah pondasi agama mereka sangat kuat.
Oleh karena itu, apabila anak menjadi dokter, hal itu diperbolehkan, asalkan ia menjadi dokter yang saleh. Jika anak menjadi arsitek, diperbolehkan, asalkan ia menjadi arsitek yang saleh. Demikian pula jika putra-putri menjadi tentara atau polisi, hal itu diperbolehkan, asalkan mereka menjadi tentara dan polisi yang saleh. Begitu juga jika anak menjadi presiden, hal itu diperbolehkan, asalkan ia menjadi presiden yang saleh. Untuk menjadikan mereka saleh, harus dimulai dari pondasi awal, yaitu pendidikan fardhu ‘ain.
Sejak kecil, pendidikan agama harus diprioritaskan.